fbpx

Taste Desainer Grafis Terhadap Warna

Desain grafis bukan hanya tentang membuat visual yang “eye catching”, bukan juga tentang kecakapan skill menggunakan tools, tetapi bagaimana sebuah grafis dirancang dengan elemen-elemen yang selaras dan harmoni berdasarkan azaz-azaz desain.

Asyik, terdengar seperti kalimat pembuka BAB 1 skripsi anak DKV, ya.

Tenang, kita tidak akan mengarah ke sana. Sesuai dengan judul di atas, penulis akan membahas pentingnya seorang desainer grafis mengasah taste terhadap spektrum warna. karena sebagai seorang desainer grafis, kita akan selalu dihadapkan pada hal yang beririsan dengan elemen-elemen seni, salah satunya warna.

Desain Grafis

Iya, betul, desain grafis dalam konteks desain komunikasi visual tidaklah sama dengan seni terutama seni murni. Seni murni itu lebih “liar”, bebas dan tidak absolut, bahkan terkadang mengandung unsur ego dari sang seniman. Dalam seni murni, ketika kita menggoreskan suatu bentuk berwarna hijau di atas kanvas, lalu kita sebut itu sebuah dedaunan, akan sangat sah-sah saja jika orang lain yang melihat menganggap itu serpihan kue putu. Sama sekali tidak membuat karya kita menjadi jelek atau gagal. Karena sejatinya seni murni memang untuk dinikmati secara secara soul to soul.

Kembali ke desain grafis. Sebuah sub bidang keilmuan seni yang dikategorikan sebagai seni modern yang menuntut sense of art tetapi dibatasi oleh prinsip-prinsip yang mengikat. Maka dalam desain grafis, jika kita membuat sebuah objek berwarna hijau lalu menyebutnya sebagai dedaunan, maka menjadi suatu keharusan objek tersebut harus terlihat sebagai dedaunan juga oleh orang lain yang melihatnya. Jika orang lain menganggap itu kue putu, maka jelas ada yang salah dengan apa yang sedang kita rancang dan akibatnya juga akan sangat fatal.

Penulis beri contoh kasus. Sebut saja “R” asal kota “P” seorang desainer grafis, memiliki client seorang pebisnis skincare khusus pria. Client meminta “R” untuk melakukan branding terhadap produknya. Maka, “R” sebagai seorang desainer seharusnya sudah menguasai konsep dasar mengenai warna, memahami psikologi warna, dan apa yang akan ia buat hasilnya sangat bergantung pada taste “R” terhadap spektrum warna.

Jika “R” mengusai psikologi warna, ia pasti akan memilih warna-warna yang representatif dengan target pasar si produk skincare, yaitu pria, sehingga akan cenderung memilih warna-warna tersier seperti hitam, putih, navy dan warna-warna pekat lainnya. Lalu pertanyaannya, Apakah “R” memiliki taste terhadap spektrum warna? Jawabannya tentu bisa “ya” dan “tidak”. Jika “ya” maka “R” akan sangat mudah menemukan warna apa yang paling tepat untuk dikombinasikan agar hasil branding-nya sesuai dengan target produknya. Tidak sekedar enak dipandang mata, bergelimang shape yang atraktif, dan style ter-update, tetapi juga pesan yang dibawa oleh brand ter-delivery dengan baik kepada khalayak sesuai target pasarnya.

Taste terhadap warna

Yang penulis maksud sebagai taste terhadap warna di sini adalah, kemampuan seorang desainer grafis melakukan “tek-tok” dengan sense, memori dan chemistry yang ada di dalam dirinya sendiri terhadap ratusan spektrum warna yang tersedia di color palette. Alih-alih memilih warna “candlelight orange”, bisa saja seorang desainer grafis memilih “kuning dangdut” sebagai perpaduan warna di dalam desainnya jika ia tidak memiliki taste of color yang baik.

Lalu pertanyaannya, bagaimana kiat seorang desainer grafis membangun taste terhadap spektrum warna? Tentu saja dimulai dari melatih sense of art. Caranya dengan memperbanyak melihat referensi berbagai desain-desain grafis profesional, melatih memori dengan memperhatikan detail elemen per elemen desain para expert, termasuk cara mereka mengkombinasikan warna pada tema tersebut dan yang tidak kalah penting adalah terus menambah jam terbang melalui berbagai project desain secara konsisten.

Dapat disimpulkan, tidak ada cara instan bagi seorang desainer untuk membangun taste terhadap warna. Butuh waktu, pengorbanan, dan konsistensi untuk sampai pada titik tersebut. Itulah sebabnya kita dapat membedakan seorang desainer expert dengan seorang pemula atau bahkan desainer self pro claim hanya dengan melihat mood desain yang ia buat, salah satunya dari warna yang ia pilih. Meskipun tools, brief dan referensi yang digunakan sama.

Untuk lebih detail mengenai kiat-kiat mengasah taste of color sebagai seorang desainer grafis, akan penulis bahas di artikel selanjutnya, ya. Pokoknya “kalo rame, lanjut part 2”.

Sebagai penutup, penulis akan spill siapa desainer berinisial “R” yang dimaksud pada contoh kasus di atas. Tolong dirahasiakan, jangan beri tahu siapapun apalagi kepada orang yang belum membaca artikel ini. Jadi, “R” tersebut adalah Riyanto, seorang desainer grafis level medioker asal kota Probolinggo. Bukan Rizki, Rio apalagi Rahmat asal kota Payakumbuh. Bukan sama sekali. (Amj)